Tak Pas Tumpahkan Amarah Hanya ke Gubernur
Oleh :
Dr Dedek Kusnadi MSi MM
Macet lagi macet lagi….Pak polisi jadi binggung… Orang-orang ikut binggung….
Ini lah yang sedang dihadapi warga Jambi, akhir-akhir ini. Banyak orang mengumpat, mencaci maki, mengeluarkan sumpah serapah.
Jalanan macet karena batubara, membuat tensi darah meninggi. Dada sesak. Hati menggelegak. Saya juga merasakan hal yang sama. Saya pernah ribut dengan teman-teman supir truk, gara-gara macet ini.
Gubernur Jambi pun jadi bulan-bulanan. Banyak yang melampiaskan amarah padanya. Itu sah-sah saja. Tapi, mengumbar amarah hanya pada Gubernur saja tentu tidak adil.
Mengapa?
Begini.
Kita sepakat untuk marah karena angkutan batubara telah membuat macet. Menyengsarakan kita semua. Tapi, tengoklah….
Siapa yang bertanggungjawab atas kemacetan ini?
Coba kita petakan masalahnya satu per satu. Soal larangan angkutan batubara lewat jalan umum, misalnya. Siapa yang berhak dan berwenang melarangnya.
Gubernur kah?
Polisikah?
Dishub kah?
Atau Presiden?
Tidak ada yang bisa melarang. Batubara merupakan salah satu penyumbang devisa bagi negara. Makanya, pemegang IUP bisa memanfaatkan jalanan umum untuk keperluan pertambangan. Dasar hukumnya Pasal 91 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Kalau hendak melarang, harusnya cabut dulu undang-undang itu. Kemudian kita lihat lagi otoritas atau kewenangan soal pengunaan jalan atau publik road.
Kalau jalan nasional, izinnya di Menteri PU, yang pendelegasiannya di daerah lewat Balai Besar Pelaksanaan Jalan nasional. Kalau mau melarang angkutan batubara melintasi jalanan nasional, mintalah balai jalan mengeluarkan larangan. Bukankah jalan Tembesi-Jambi, yang kini menjadi biang macet berstatus jalan nasional?
Gubernur hanya berwenang mengatur jalan provinsi. Sedangkan jalan kabupaten, itu wewenangnya Bupati atau Walikota.
Pun soal penutupan pertambangan. Yang berhak menutupnya ya Kementerian ESDM, bukan gubernur. Sekali lagi, bukan ranahnya gubernur.
Kita memang sengsara karena kemacetan. Tapi, menutup tambang batubara, melarang operasionalnya, juga bukan langkah solutif. Karena di sana ribuan Kepala Keluarga yang menjadi supir, pengangkut, menggantungkan hidupnya di sana.
Kalaulah batubara dihentikan, mereka semua akan menganggur. Negara tidak menerima pendapatan royalti. Jangan salahkan jika alokasi dana untuk Provinsi Jambi akan timpang dan minim.
Kita boleh saja marah. Tapi, jangan marah hanya karena kepentingan anda terganggu. Marahlah ketika kezaliman terjadi di depan mata.
Marahlah dengan cara yang benar. Ihwal siapa yang bertanggungjawab soal kemacetan ini, tak adil jika menumpahkan amarah hanya kepada gubernur.
Marahlah pada Presiden. Marahlah pada Kementerian ESDM. Marahlah pada Kementerian PU. Marahlah juga kepada Bupati.
Marahlah pada tempatnya. Jangan sampai kita salah menumpahkan amarah. Itu tak adil namanya.
Pramodya, seorang sastrawan pernah menulis dalam novelnya berjudul Bumi Manusia.
“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.”
Kalimat ini sering dipendekkan ke inti kalimatnya jadi, “adil sejak dalam pikiran.” Maksudnya jelas, bersikap adil sudah harus dimulai bahkan saat masih dalam benak.
Adil lah dalam menyikapi kemacetan batubara ini. Jangan tumpahkan amarah hanya pada seorang gubernur.