Soal HGU PTPN VI Kayu Aro, M. Haris Berikan Versi Berbeda
Hang-tuah.com- M. Haris Bakhtiar Dr (c) Riswanto Bakhtiar, S.AP, M.A.P Universitas Eka Sakti Sumatera Barat mengungkapkan versi yang berbeda terkait Hak Guna Usaha (HGU) PTPN VI Kayu Aro Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi.
“Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Surat Edaran Nomor 11/SE-HK.02.02/VIII/2020 Tentang Pelaksanaan Kewajiban Perusahaan Dalam Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat menjelaskan secara detail bagaimana skema HGU bentuk kepemilikan dalam usaha perkebunan,”terang Haris kepada Hang-tuah.com, Rabu, (2/3).
Ia melanjutkan bahwa, ada sejumlah fakta didalam HGU yang peraturannya tidak sesuai regulasi yang ada.
“Perlu diketahui, faktanya perkara HGU perkebunan masih menjadi isu di lapangan dimana prakteknya punya aturan yang tak selaras. Padahal kegiatan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang HGU sebagaimana diatur dalam Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 64 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha,”ujarnya.
Didalam pengamatannya kata Haris, terdapat sejumlah kendala serta perbedaan penafsiran peraturan yang diatur.
“Pada pelaksanaannya masih ditemui beberapa kendala, permasalahan, dan perbedaan penafsiran atas penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sehingga berpotensi dapat menghambat pelayanan pertanahan. Oleh karenanya, surat edaran yang dikeluarkan menjadi pedoman untuk pelaksanaan HGU perkebunan,”tukasnya.
Penggunaan HGU sendiri tidak hanya untuk Hak Guna Usaha perkebunan, melainkan juga untuk lahan pertanian, perikanan atau peternakan.”Selain untuk usaha perkebunan, HGU juga dapat dimiliki bagi usaha tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Sedangkan pada lahan persawahan, hanya dapat dilakukan dalam rangka pencetakan sawah baru dari non sawah menjadi sawah terutama pada tanah-tanah yang kurang dan/atau tidak produktif,”sebutnya.
Ditambahkan lagi Haris, bahwa status HGU bisa dihapuskan dalam kondisi dan situasi tertentu, utamanya jika terjadi pelanggaran sesuai yang sudah diatur dalam undang-undang dan peraturan menteri.
“Menurut PP Nomor 40 Tahun 1996, HGU dihapuskan apabila terjadi kondisi jangka waktu dan perpanjanganya berakhir, pemegang hak dapat mengajukan pembaruan hak. Permohonannya sendiri diajukan paling lama 2 tahun sejak jangka waktu dan/atau perpanjanganya berakhir. Akan tetapi, jika permohonan tidak diajukan dalam jangka waktu 2 tahun, maka HGU di hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara,”jelasnya.
“Apabila pemegang HGU yang tidak lagi memenuhi syarat dalam jangka waktu 1 tahun, maka wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Usaha itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Sementara jika dalam jangka waktu 1 tahun Hak Guna Usaha itu tidak dilepaskan atau dialihkan, maka Hak Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara,”urainya.
Soal HGU PTPN VI Kayu Aro, M. Haris Berikan Pandangan Berbeda
Hang-tuah.com- Dr (c) Riswanto Bakhtiar, S.AP, M.A.P Universitas Eka Sakti Sumatera Barat mengungkapkan versi yang berbeda terkait Hak Guna Usaha (HGU) PTPN VI Kayu Aro Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi.
“Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Surat Edaran Nomor 11/SE-HK.02.02/VIII/2020 Tentang Pelaksanaan Kewajiban Perusahaan Dalam Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat menjelaskan secara detail bagaimana skema HGU bentuk kepemilikan dalam usaha perkebunan,”terang Haris kepada Hang-tuah.com, Rabu, (2/3).
Ia melanjutkan bahwa, ada sejumlah fakta didalam HGU yang peraturannya tidak sesuai regulasi yang ada.
“Perlu diketahui, faktanya perkara HGU perkebunan masih menjadi isu di lapangan dimana prakteknya punya aturan yang tak selaras. Padahal kegiatan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang HGU sebagaimana diatur dalam Pasal 40, Pasal 41 dan Pasal 64 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha,”ujarnya.
Didalam pengamatannya kata Haris, terdapat sejumlah kendala serta perbedaan penafsiran peraturan yang diatur.
“Pada pelaksanaannya masih ditemui beberapa kendala, permasalahan, dan perbedaan penafsiran atas penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sehingga berpotensi dapat menghambat pelayanan pertanahan. Oleh karenanya, surat edaran yang dikeluarkan menjadi pedoman untuk pelaksanaan HGU perkebunan,”tukasnya.
Penggunaan HGU sendiri tidak hanya untuk Hak Guna Usaha perkebunan, melainkan juga untuk lahan pertanian, perikanan atau peternakan.
“Selain untuk usaha perkebunan, HGU juga dapat dimiliki bagi usaha tanaman pangan dan tanaman hortikultura. Sedangkan pada lahan persawahan, hanya dapat dilakukan dalam rangka pencetakan sawah baru dari non sawah menjadi sawah terutama pada tanah-tanah yang kurang dan/atau tidak produktif,”sebutnya.
Ditambahkan lagi Haris, bahwa status HGU bisa dihapuskan dalam kondisi dan situasi tertentu, utamanya jika terjadi pelanggaran sesuai yang sudah diatur dalam undang-undang dan peraturan menteri.
“Menurut PP Nomor 40 Tahun 1996, HGU dihapuskan apabila terjadi kondisi jangka waktu dan perpanjanganya berakhir, pemegang hak dapat mengajukan pembaruan hak. Permohonannya sendiri diajukan paling lama 2 tahun sejak jangka waktu dan/atau perpanjanganya berakhir. Akan tetapi, jika permohonan tidak diajukan dalam jangka waktu 2 tahun, maka HGU di hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara,”jelasnya.
“Apabila pemegang HGU yang tidak lagi memenuhi syarat dalam jangka waktu 1 tahun, maka wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Usaha itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Sementara jika dalam jangka waktu 1 tahun Hak Guna Usaha itu tidak dilepaskan atau dialihkan, maka Hak Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara,”urainya.
Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan, maupun putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
“Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961,”tegasnya.
Ia menambahkan, yang perlu dan harus dilakukan oleh DPRD dan masyarakat khususnya HGU PTPN VI. “Pertama, perlu peninjauan kembali atas luas HGU dan peruntukannya, kedua, Pembebasan wilayah desa yg ada didalam kawasan HGU, karena ini menyangkut penggunaan Dana Desa dalam melakukan pembangunan. Ketiga, peran serta dan CSR PTPN VI dalam pembangunan daerah, terutama masyarakat dalam wilayah sekitar HGU,”sebutnya.
“Yang ke empat, PTPN VI dilarang membongkar fasilitas umum dan Sosial yang sudah dibangun oleh masyarakat, yang seharusnya menjadi kewajiban PTPN untuk membangun fasilitas tersebut. Kelima, pemerintah daerah, DPRD dan masyarakat harus meninjau kembali pemanfaatan lahan HGU apakah sesuai dengan Izin HGU, serta meninjau ulang izin HGU tersebut untuk dibatalkan atau dicabut kalau tidak memberikan dampak positif bagi pembangunan di daerah dan masyarakat,”ungkapnya.
“Selanjutnya ke enam, berapa banyak kontribusi PTPN VI terhdap daerah dan masyarakat sejak izin HGU diberikan, dan kemana saja dana-dana CSR selama ini diberikan?,”Haris bertanya.
Satu catatan penting sejak adanya putusan MK No 35 tahun 2013. MK menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara. Ada hak ulayat dalam HGU.
“Jadi pernyataan pembebasan lahan untuk fasum gak perlu, karena fasum dan fasos sudah menjadi kewajiban pemilik HGU karena itu dibunyikan dalam kontrak izin HGU,”tukasnya. (Deddy Klen)