Sang Gatot Kaca di Pilgub Jambi
Oleh
Dr Dedek Kusnadi, MSi,MM
Hang-tuah.com- Survey Charta Politika yang dirilis baru-baru ini tak terlalu mengejutkan. Angka-angka elektabilitas kandidat Gubernur Jambi itu tiada perubahan. Hampir mirip dengan angka survey tahun lalu.
Cek Endra diposisi teratas (20,6 Persen). Urutan kedua Al Haris (16,8 Persen) dan terakhir Fachrori Umar (10,9 Persen). Dengan angka margin of error 3,1 Persen, maka, menurut Charta Politika, tanpa Syarif Fasha, posisi tiga kandidat itu cukup berimbang. Tak ada yang dominan.
Karena itu, menurut Charta, Figur wakil dalam kondisi seperti ini menjadi sangat penting. Sosok wakil semestinya mampu menolong kandidat mengerek suara. Dia harusnya representasi tokoh kuat, yang mampu memberi sumbangan elektoral.
Kalaulah kita mengacu pada survey Charta itu, figur Ratu Munawaroh menjadi sosok wakil yang paling potensial penyumbang suara. Angkanya 15,6 persen. Sementara Abdullah Sani hanya 12,5 Persen. Saat Survey Charta ini digeber, nama Jenderal Syafril Nursal belum nongol.
Dari data-data itu, Charta berkesimpulan pemenang Pilgub Jambi belum bisa diprediksi. Semuanya masih berpeluang untuk memenangi kontestasi.
Peta Kekuatan 3 Cawagub
Kami di Pusat Kajian Sosial dan Politik (Pusakaspol) Jambi sempat berdiskusi dan menganalisis tiga figur calon Wakil Gubernur itu. Bagaimana peta kekuatan dan sumbangsihnya terhadap elektoral.
Ada dua nama potensial Calon Wakil Gubernur yang merupakan representasi etnis besar dan cukup menjadi penentu di Provinsi Jambi. Inspektur Jenderal Syafril Nursal mewakili etnis Kerinci dan Abdullah Sani dari etnis Jawa.
Syafril dan Sani adalah dua tokoh yang memiliki basis etnis dengan suara lumayan gede. Pemilih Jawa di Jambi banyak. Sedangkan, kesetiaan primordial etnis Kerinci, jangan ditanya lagi, sangat tinggi.
Syafril dan Sani tentu akan menjadi tokoh yang berpotensi besar membantu mendulang suara.
Data sensus penduduk tahun 2000 mencatat, penduduk Jambi berjumlah 2.405.378 jiwa. Etnis Melayu paling dominan dengan jumlah total 37,87 persen.
Etnis Jawa menempati posisi kedua dengan jumlah 27,64 persen. Lalu disusul etnis Kerinci dengan jumlah 10,56 persen. Selanjutnya beberapa etnis yang jumlahnya tak terlalu signifikan, seperti Minangkabau 5,47 persen, Banjar 3,47 persen, Sunda 2,62 persen , Budism 2,59 persen dan kelompok kecil lainnya di kisaran 1 persen.
Jumlah ini bertambah menjadi lebih dari 3 juta jiwa pada tahun 2014. Saat ini data etnisitas tidak boleh lagi dimasukkan ke dalam salah satu variabel demografi dalam laporan Badan Pusat Statistik. Sehingga data tahun 2000 ini bisa sebagai dasar untuk melihat komposisi penduduk Jambi berdasarkan jumlah etnis. Dari data Sensus BPS itu menunjukkan bahwa etnis Jawa dan Kerinci berpotensi menyumbang suara besar di Pilgub.
Bukankah yang menjadi persoalan utama dalam politik adalah bagaimana cara memperbesar dukungan?
Sentimen etnis merupakan salah satu alat ampuh untuk memobilisasi dan menarik dukungan dari kelompok primordial. Syafril dan Sani adalah representasi basis primordial etnik. Syafril mewakili etnis Kerinci sementara Sani etnis Jawa. Dua kelompok etnis itu punya kekuatan besar.
Apalagi Kerinci yang memiliki kesetiaan etnik sangat tinggi. Solidaritas etnik Kerinci bisa menghasilkan fanatisme politik kepada Syafril. Walaupun, kemunculan Syafril baru di last minute. Boleh jadi dia memang belum terlalu populer. Tapi, untuk mendrive etnis Kerinci ke figur Syafril, tidaklah terlalu sulit. Sifat etnis Kerinci yang homogen akan mempermudah dan mempercepat pengenalan Syafril di basisnya. Apalagi, Syafril satu-satunya tokoh Kerinci yang turun gelanggang Pilgub.
Sebaliknya, solidaritas etnik Jawa bisa menghasilkan fanatisme politik kepada Sani.
Sampai saat ini, Sani masih dianggap patron di kalangan etnis Jawa. Ia merupakan Ketua Wisnu Murti, organisasi etnis jawa terbesar di Jambi. Solidaritas kelompok etnik itu tidak hanya memperkuat integrasi kelompoknya. Tapi juga bisa menjadi senjata untuk menyerang kelompok lawan.
Kajian tentang pembelahan politik seperti santri versus agama lain. Jawa versus luar jawa. Pusat versus Daerah. Pendatang vs Pribumi. Penduduk asli vs keturunan Tionghoa. Priayi dan bangsawan vs orang biasa. Sudah banyak yang menyinggungnya.
Persamaan ras dan suku akan menghasilkan persamaan-persamaan kultural lainnya. Seperti persamaan bahasa, adat istiadat dan kedaerahan. Orang-orang yang berasal dari suku tertentu, akan mempunyai bahasa dan adat istiadat yang sama. Ikatan primordial itu membentuk sentimen dan loyalitas primordial. Yang akan menghasilkan solidaritas sangat kuat antara sesama anggota kelompok.
Solidaritas dalam kelompok primordial atas dasar ras/suku itu bisa timbul oleh adanya persamaan nilai-nilai budaya tadi. Yang membuat mereka memiliki cara hidup, pola pikir dan kepentingan yang sama.
Semua persamaan itu membuat mereka bersedia membela kelompok mereka. Dengan pengorbanan apapun. Bahkan bersedia mengorbankan nyawanya. Dukungan terhadap isu-isu primordial itu sebetulnya alamiah. Karena solidaritas dan ikatan primordial itu sendiri bersifat alamiah. Politik yang diwarnai isu primordial akan menghasilkan dukungan fanatis dari kelompok primordial bersangkutan.
Sehingga, ikatan primordial merupakan alat ampuh untuk menarik dukungan dari anggota kelompok primordial itu. Tengok saja misalnya, bagi warga Etnik Melayu Jambi, faktor primordialisme agama (Islam) menjadi penting untuk dipertimbangkan. Dan menjadi alasan dan landasan dalam menjatuhkan pilihan politik. Sehingga, sampai sejauh ini, belum ada satupun calon kepala daerah, baik di provinsi maupun di Kabupaten/Kota di Jambi yang beragama non Islam.
Tak salah, Syafril dan Sani dianggap tokoh potensial pendulang suara. Keduanya mampu melakukan mobilisasi politik terhadap kelompok etniknya. Yaitu Jawa dan Kerinci. Kedua tokoh ini memiliki syarat-syarat tersebut.
Lalu, bagaimana dengan Ratu Munawaroh?
Ratu memang bukan bagian dari kelompok etnik tertentu. Tapi, figurnya tak bisa dipandang sebelah mata. Ratu Munawaroh termasuk pewaris trah Nurdin. Ia istri Zulkifli Nurdin, sulung pasangan Nurdin Hamzah-Nurhasanah, saudagar kaya raya nan dermawan itu. Nurdin Hamzah adalah konglomerat yang menguasai jaringan bisnis sembako terbesar di Jambi. Sejak dulu ia dikenal pengusaha dermawan. Ia punya loyalis dan pendukung setia.
Setiap tahun, miliaran rupiah ia keluarkan buat zakat. Ia mendirikan sebuah masjid megah di pusat Kota Jambi dengan biaya sendiri. Nama masjidnya Nurdin Hasanah, yang merupakan perpaduan nama Nurdin Hamzah dan Nur Hasanah (istrinya). Inilah Taj Mahal versi Jambi.
ZN, suami Ratu, tercatat menjabat gubernur Jambi selam dua periode (2000 – 2010). Selama itu pula Ratu menjadi firs lady, yang ketokohannya sudah mengakar dan dikenal di mana-mana.
Sang suami menguasai PAN sejak awal Era Reformasi, membangun jaringan bisnis yang kuat, baik dengan penguasa lokal pribumi maupun non pribumi, memupuk persahabatan jaringan organisasi mahasiswa, jurnalis maupun lembaga swadaya masyarakat. Jangan heran, banyak kader PAN diam-diam tunduk takzim dan membela Ratu. Mereka bergerilya dalam senyap untuk memenangkan Ratu.
Penerus trah Nurdin memang tak punya pilihan selain harus mendukung Ratu Munawaroh. Dialah satu-satunya simbol trah Nurdin yang kini turun gelanggang Pilgub. Maklum saja, sejumlah loyalis ZN sudah mengikrarkan diri untuk membela Ratu, mati-matian. Bahkan figur seperti Chairul Naim, pentolan PAN itu, rela berseberangan dengan partainya, demi membela Ratu Munawaroh.
Juga Hasan Timpus, ayah kandung Romi Haryanto, Bupati Tanjab Timur. Yang berani berseberangan dengan sang anak, demi menyokong Ratu Munawaroh. Hasan bahkan mengaku malu jika Ratu kalah di Sabak, tempat kelahirannya. Tak salah publik berasumsi, mana mungkin Romi akan berlawanan dengan sang ayah. Ia pasti akan takzim dan ikut membela Ratu.
Keluarga Nurdin seperti Sum Indra, juga aktif turun gunung. Begitupula Hazrin Nurdin, yang tiada pilihan lain kecuali harus mendukung Ratu. Ratu juga berhasil menggaet tokoh Kerinci, semisal Ramli Thaha. Sosok Ketua HKKI itu, paling tidak akan mengganggu basis Syafril di etnis Kerinci. Lalu, di barisan CE dan Ratu, ada pula Sukandar dan Triman yang bersiap pasang badan. Tokoh Jawa ini sangat disegani. Praktis, suara jawa akan terbelah ke CE-Ratu.
Kedigdayaan Ratu bisa dibuktikan dengan hasil survey Charta tadi, yang menempatkannya pada posisi teratas kandidat wakil gubernur. Padahal, Ratu baru mulai muncul pada Juni 2020. Ia belum banyak bersosialisasi. Namanya kini kian booming, terutama di kalangan milenial. Semakin banyak yang mengenal Ratu, semakin positif dukungannya. Ratu akan menjadi pendulang suara cukup besar bagi Cek Endra. Karena ia satu-satunya kandidat dari kalangan kaum hawa. Praktis, suara emak-emak tak akan jauh dari Ratu.
Sekali lagi, semua keluarga Nurdin pasti akan bahu-membahu memenangkan Ratu. Kontestasi kali ini merupakan penyelamatan citra bagi keluarga Nurdin.
Tiga figur wakil gubernur itu memang bukan orang sembarangan. Mereka bak Gatot Kaca, tokoh wayang yang merupakan simbol orang kuat, otot kawat tulang besi. Ratu, Syafril dan Sani adalah figur kuat penyumbang suara.
Tinggal lagi kepiawaian tim, bagaimana mereka bisa bersiasat mengatur strategi untuk merebut kemenangan. Peran wakil itu, tentu tak ada apa-apanya tanpa disokong strategi tim yang jitu.
Seperti kata sang maestro perang Sun Tzu :
“Kalau memiliki kekuatan 10 kali kekuatan musuh, kepunglah dia; kalau lima kali, seranglah dia; kalau dua kali, hadapilah dia; kalau sama-sama kuat, pecah belahlah dia; kalau Anda kalah banyak, bertahanlah; kalau Anda bukan tandingan musuh, hindarilah dia”
Penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan UIN STS Jambi dan Peneliti di Puskaspol Jambi