Isu Pelakor, Ini Kata Psikolog
Hang-tuah.com- Istilah pelakor mulai muncul ditengah-tengah masyarakat. Kendati sebelumnya istilah itu belum banyak dikenal. Pelakor mulai rame diperbincangkan. Baik di media sosial hingga diwarung-warung kopi. Tidak wajar bila masyarakat berbicara lantang menyebutkan hal itu. Pasalnya, dalam menjastisce pelakor bisa menimbulkan fitnah dan berujung pada pencemaran nama baik seseorang. Terlebih pelakor itu merupakan pejabat penting dan lain sebagainya.
Menurut keterangan konselor dan terapis dari Biro Konsultasi Psikologi Westaria, Anggia Chrisanti menjelaskan ada beberapa kesalahan nyata sehingga seseorang rentan dan dengan mudahnya dicap sebagai pelakor. Pelakor atau valakor adalah istilah untuk seseorang yang merebut pasangan lelaki atau suami orang lain.
Berikut ini ciri-cirinya,
Diduga memiliki kedekatan spesial dengan pasangan, khususnya suami, orang lain, baik terkait pekerjaan maupun tidak.
Banyak ditemukan bukti dan saksi kebersamaan, bahkan di luar kepentingan pekerjaan.
Bukti pembicaraan melalui telepon atau chating yang dianggap tidak biasa. Misalnya, terlalu sering dan atau dengan bahasa atau panggilan yang dianggap tidak biasa, dan atau dengan konten yang tidak seharusnya, terlalu perhatian atau terlalu vulgar.
Ditemukan beberapa pemberian barang, baik barang sungguhan maupun bukti transfer uang dalam jumlah dan intensitas yang tidak biasa.
Kedekatan berbanding lurus dengan munculnya informasi keretakan rumah tangga seseorang yang sedang dekat dengan orang tersebut. Terlebih jika sampai berpisah.
Apa yang menyebabkan seseorang menjadi Pelakor?
Perbuatan yang dilakukan oleh pelakor tersebut sama halnya dengan perbuatan curang (cheating). Cheating adalah berbuat tidak jujur atau curang yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan secara sepihak, misalnya mencontek saat ujian, korupsi, dan perselingkuhan.
Menurut Mellisa Grace, M.Psi., Psikolog, ada beberapa alasan yang membuat seseorang dapat melakukan cheating, antara lain:
Faktor Individual
Karakteristik kepribadian individu yang manipulatif. Karakteristik manipulatif adalah kecenderungan individu untuk memanfaatkan atau memanipulasi situasi untuk memperoleh kepentingan pribadi.
Karakteristik kepribadian individu yang kurang memiliki rasa empati kepada orang lain. Empati adalah kemampuan individu untuk merasakan, memahami dan melihat sudut pandang orang lain. Jika individu memiliki rasa empati yang kurang maka ia tidak akan mampu merasakan bahwa ada pihak-pihak yang dirugikan dari perilakunya.
Karakteristik kepribadian individu yang narcissistic. Karakteristik narcissisticadalah perasaan diri yang berlebihan, sehingga individu merasa bahwa dirinya yang paling hebat, paling berkuasa, paling cantik atau tampan, paling pantas memperoleh perlakuan istimewa, padahal sesungguhnya perilaku narcissisticmerupakan bentuk kompensasi dari perasaan rendah diri (low self-esteem) yang dimiliki oleh individu.
Ketidakmampuan individu bersikap asertif. Sikap asertif adalah kemampuan berkomunikasi secara terbuka mengenai pikiran dan perasaannya kepada orang lain tanpa menyakiti dirinya dan orang lain. Individu yang tidak mampu bersikap asertif seringkali menggunakan cheatingsebagai bentuk tindakan untuk mengekspresikan kekesalannya, amarahnya, dan dendam kepada orang lain.
Faktor Situasional
Individu yang melakukan cheating telah terbiasa atau belajar tidak terlalu mementingkan nilai-nilai kejujuran dari sebuah situasi. Hal ini dapat terjadi ketika individu dibesarkan dalam lingkungan yang kurang menekankan pentingnya nilai-nilai kejujuran.
Adanya Keuntungan Sekunder
Individu menganggap bahwa perilaku cheating lebih mendatangkan banyak keuntungan dibandingkan berperilaku jujur. Misalnya dengan berperilaku curang, beberapa orang merasa lebih cepat memperoleh status sosial, lari dari tanggungjawab, lebih memperoleh perhatian, lebih cepat kaya, dan sebagainya.
Parahnya, para pelakor tersebut berusaha menyalahkan pasangan atau korbannya untuk melepaskan diri dari tanggungjawab atas perilakunya sendiri. Padahal perilaku cheating atau selingkuh tidak pernah disebabkan oleh faktor karakteristik korban.
Menurut keterangan Sosiolog Universitas Negeri Padang (UNP) Dr. Erian Joni mengatakan mencuatnya isu pelakor di daerah Kerinci sebetulnya berkaitannya dengan adanya masalah krisis keluarga.
“Lemahnya fungsi afeksi (kasih sayang), dengan hilangnya nilai-nilai kesetian, dan fungsi proteksi (perlindungan) serta tidak kuatnya fungsi ekonomi keluarga, akibatnya di antaranya pasangan tidak bahagia secara ekonomi,”jelasnya.
Erian Joni mengatakan, selain itu ada faktor lain seperti ketidakmampuan pasangan untuk menjalankan fungsi seksual atau reproduksi dengan baik. “Hal ini dipertegas lemahnya pemahaman tentang keagamaan sehingga memicu terjadinya perselinguhan atau makin marakanya para pelakor,”ujarnya.
Para pelakor pada umumnya bereaksi dengan menggunakan medium media sosial, sehingga privasi aktivitas mereka lebih mudah. “Kalau kita lihat ada kecenderungan faktor ekonomi yang menjadi faktor dominan sebagai modus yang menyebabkan kasus konflik keluarga yang aktor penyebabnya, yakni orang ketiga seperti pelakor,”ungkapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa pada umumnya pelakor lebih menyenangi dan mencari pasangan yang tajir. “Karena mereka sudah berpikir praktis hidup aman di tengah situasi ekonomi yang makin buruk akibat Covid-19,”tukasnya. (Tim)