Filsafat Ilmu (Bag.2)

Penulis : Oldy A.A Mahasiswa Doktor Ekonomi Unja
Hang-tuah.com- Haruskah kita hidup? Bolehkah kita tidak melanjutkan hidup? Itu adalah pertanyaan filosofis yang besar.
Ketika anak-anak mulai masuk sekolah biasanya kreatifitas itu mati, kekritisan itu menjadi tumpul. Bisa pengaruh guru, bisa karena takut, bisa nalarnya dipakai untuk pekerjaan – pekerjaan sekolah dan sebagainya.
Semakin dewasa semakin jauh dari pertanyaan filosofis, kecuali sesudah pensiun sudah mulai tua atau mulai sepuh disitu mulai berfikir dan kembali ke kanak-kanak lagi sebetulnya.
Akhirnya berfikir, kenapa saya? Saya sudah melakukan apa saja selama hidup ini? Ada gak yang menyesalkan saya ketika saya pergi tiba-tiba? Dan saya sendiri menyesalin gak ya pernah hidup? Itu tiba-tiba adalah pertanyaan filosofis lagi.
Tapi ditengah-tengah fase hidup maka pertanyaan filosofis hilang karena kita sibuk bekerja, sibuk cari duit, sibuk karir dan seterusnya. Pasti balik lagi kalau sudah sepuh untuk bertanya filosofis.
Kreatifitas kritis ini mempertanyakan filosofis yang sebetulnya sesuatu yang naluriah yang fase tertentu dalam hidup kita tiarap dulu dan akan nongol lagi.
Dan para filsuf itu tidak mau tiarap begitu maksudnya, mereka pingin selama hidupnya melanjutkan ke tingkat radikal.
Radikal dalam bahasa latinya artinya “akar”. Artinya bukan menghetikan pertanyaan-pertanyaan itu malah sebaliknya memperdalam pertanyaan-pertanyaan itu sampai keakar-akarnya.
Dan filsafat itu terus menyeret pertanyaan-pertanyaan yang “instingtif” menjadi lebih sistimatis dan radikal.
Kekhasan filsafat ilmu itu baru tampil kalau di “kontraskan” dengan alam berfikir agamis karena dalam beberapa hal, ilmu pengetahuan itu muncul dalam rangka melepasakan diri dari kerangkeng pemikiran keagamaan.
Kerangka agama sebagai “backdrop” atau lapisan untuk perbandingan. Misalnya, putih itu muncul ketika dilapiskan dengan hitam seperti papan tulis hitam dengan kapur puti, sehingga terasa sekali perbedaanya dan keradikalannya antara pola fikir ilmiah dengan kerangka persepktif religius.
Apakah betul suara mayoritas masyarakat itu suara Tuhan? Dalam evolusi peredaban sering kali kebenaran yang lebih tinggi muncul justru melawan pendapat umum.
Contohya, agama adalah kebenaran yang paling tinggi maka pada awalnya nabi-nabi selalu melawan pendapat umum. Awalnya tidak begitu diterima bahkan kebalikannya tabrakan dengan pendapat umum.
Socrates, kita melihatnya sekarang, dia yang benar tapi pada waktu itu tidak, masyarakat Yunani pada waktu itu melihat Socrates sebagai penjahat dan penghasut yang berbahaya, akhirnya dipaksa minum racun.
Memang, mulai memasuki alam filasfat mulai kacau semuanya. Itu kodratnya filsafat. Dalam situasi dunia modern, orang mulai pragmatis, apa sih hidup? Ya cari duit, meniti karir dan seterusnya.
Maka filsafat umumnya dilihat sebagai kesibukan percuma bahkan sesuatu yang rada konyol karena belajar filsafat kerjanya apa? Paling ngajar, kalau tidak ngajar terus gimana? Nah itu ranah yang tidak nyambung dengan kehidupan yang pragmatis.
Kadang-kadang orang menyindir, filsafat itu merasa gagah kalau orang pakai istilah-istilah filosofis, sebetulnya isinya apa sering kali tidak jelas maka filsafat itu sering disindir sebagai “daftar menu yang menarik tanpa ada makanannya”.
Dimana gunanya filsafat? Kesibukan aneh ini ada gunanya. Apa lagi untuk Indonesia yang sedang membangun. Untuk di Eropa seperti masa-masa jaman “resinance”.
600 tahun yang lalu Eropa sudah mulai terbangun memasuki kehidupan era baru, yang tadinya sangat dikungkung oleh eksternalitas Geraja, tiba-tiba individualitasnya mulai muncul dan orang mulai mencoba berfikir dan mengambil keputusan sendiri.
Di Indonesia baru pasca reformasi kebebasan berfikir dan bersikap yang hanya beberapa tahun ke belakang. Dan dalam situasi seperti ini, filsafat memupuk kemandirian dan sikap serta pemikiran. Dan dunia barat sudah memupuk ini sudah ratusan tahun dan kita baru hanya puluhan tahun.
Secara lebih luas dan detail tentang filsafat ilmu selanjunnya akan diuraikan pada Filsafat Ilmu Bag. 3